Minggu, 28 Januari 2024

Pascakebenaran Riset dan Tata Kelola Komunikasi

 

Pascakebenaran Riset dan Tata Kelola Komunikasi



AT one time we had truth and lies. Now we have truth, lies, and statements that may not be true but we consider too benign to call false. Euphemisms abound. We're "economical with the truth," we "sweeten it," or tell "the truth improved." The term deceive gives way to spin. At worst we admit to "misspeaking," or "exercising poor judgment." Nor do we want to accuse others of lying. We say they're in denial. A liar is "ethically challenged," someone for whom "the truth is temporarily unavailable." (Keyes, 2004).



'POST-TRUTH' atau pascakebenaran merupakan kata yang dinobatkan Oxford Dictionaries sebagai 'Word of the Year' pada 2016 (Higgins, 2016). Pengertian kata ini ialah relating to or denoting circumstances in which objective facts are less influential in shaping public opinion than appeals to emotion and personal belief. Dasar pemilihan kata ini ialah peristiwa 'Brexit referendum' di Inggris dan 'presidential election' di AS. Kedua peristiwa ini melakukan kampanye yang memperlihatkan melemahnya fakta objektif dalam memengaruhi dan membentuk opini publik.



Kampanye lebih memperlihatkan daya tarik emosional dan kepercayaan personal. Kata 'post' bukan berarti 'setelah (after)', melainkan gagasan yang berarti 'tidak relevan (irrelevant)' (Wang, Washington Post, 16 November 2016). Kata 'post-truth' berkembang luas tidak hanya untuk menggambarkan penegasan terhadap hal-hal tertentu, tetapi juga untuk menggambarkan secara umum keadaan pada zaman sekarang. Dengan demikian, post-truth yang dalam ranah politik dikenal dengan post-truth politics kemudian lebih luas dengan konteks 'post-truth era'.



Zaman post-truth merupakan zaman yang mencerminkan keadaan ketika kaburnya batas-batas antara kebenaran dan kebohongan, kejujuran dan kecurangan, fiksi dan nonfiksi (Keyes, 2004). Proses melakukan penipuan terhadap orang lain pada awalnya merupakan tantangan dan permainan, tetapi pada akhirnya menjadi kebiasaan. Istilah post-truth telah digunakan Steve Tesich dalam majalah The Nation pada 1992. Tulisan esai mencoba merefleksikan skandal 'Iran-Contra' dan 'Persian Gulf War'. Tesich meratapi "We, as a free people, have freely decided that we want to live in some post-truth world."



Walaupun demikian, istilah post-truth berbeda dengan keadaan sekarang yang berimplikasi bahwa truth itself has become irrelevant. Post-truth yang dimaksud Tesich 'after the truth was known'. Selanjutnya, muncul buku The Post-truth Era oleh Ralph Keyes pada 2004 dan 2005, Stephen Colbert memopulerkan kata informal itu terkait dengan konsep truthiness. Kata ini didefinisikan Oxford Dictionaries sebagai the quality of seeming or being felt to be true even if not necessarily true. Karena itu, pemahaman post-truth berkembang menjadi karakteristik umum di zaman ini (Oxford University Press, 2016).



Karakteristik post-truth dapat dilihat dari berbagai peristiwa, misalnya ketika toleransi publik terhadap tuduhan yang tidak akurat semakin tinggi. Munculnya penolakan yang langsung dan keras terhadap fakta-fakta yang akurat. Semakin berkurangnya kemarahan publik ketika tokoh publik dan politisi mengklaim untuk tidak percaya terhadap konsensus ilmiah, serta marahnya publik ketika terungkap kebohongan-kebohongan yang dilakukan figur publik dan tokoh panutannya.



Apalagi muncul peristiwa-peristiwa yang memperlihatkan kebohongan menggantikan kebenaran, emosi menggantikan kejujuran, analisis personal menggantikan informasi yang terverifikasi, dan satu opini menggantikan opini ganda (Keyes, 2004). Suatu studi di AS pernah memperlihatkan orang Amerika satu sampai dua kali berbohong sehari (Serota et al, 2010). Dimulai dari mengucapkan 'Saya suka sushi' hingga 'Saya cinta kamu' (Keyes, 2004). Berbohong dilakukan saat berinteraksi dan percakapan (DePaulo, Kashy, Kirkendol, Wyer, & Epstein, 1996). Tidak dapat dimungkiri bahwa berbohong menjadi bagian tidak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari.



Hal itu menyebabkan media di AS perlu menyampaikan kebenaran dalam konteks imparsialitas dan objektivitas (Sambrook, 2012). Namun, kenyataannya, kemunculan China Central Television-CCTV News (China News Agency) dan program Turner Network Television-TNT (Russian TV Channel) untuk memengaruhi khalayak Barat sekaligus melegitimasi institusi Barat seperti struktur pemerintahan, demokrasi, dan HAM seiring dengan menurunkan kepercayaan terhadap media mainstream di AS (Drezner, Washington Post, 16 Juni 2016). Kehadiran media sosial menambah dan memperkaya proses setiap orang dapat memublikasikan apa saja yang mereka inginkan.



Situs berita palsu menjadi jamak dengan berita pabrikasi dan publikasi kebohongan. Media sosial 'dieksploitasi' untuk menyebarkan ketidakbenaran. Keadaan ini seperti pepatah kuno Arab magic turned on magician (Sheik, Aljazeera.com, 2016). Hal ini dilakukan tim sukses Trump dan sayap kanan Anglo-Saxon yang menggunakan media sosial sebagai alat paling efektif untuk mempromosikan program tidak menerima presiden berkulit hitam, ketakutan akan imigran, dan meningkatkan sentimen antiliberal.



Dalam kajian filosofi khususnya epistemologi relativisme, kebenaran dapat bervariasi bergantung pada konteksnya. Sisi relativisme ekstrem berpendapat bahwa kebenaran dapat bervariasi dari setiap orang sehingga tidak ada ruang untuk berdebat. Namun, dari sisi rasionalisme, masih membuka ruang untuk berdiskusi tentang modicum of relativism.



Perdebatan dan pertentangan ini masih dapat terjadi karena Immanuel Kant pernah mengatakan, "We can know a priori of things only what we ourselves our reason put into them" (Pure of Reason Bxiii, dalam Sullivan, 1989).



Apalagi Frederich Nietzshe dianggap menjustifikasi post-truth yang mengatakan deception is rife and should not be categorically rejected (Higgin, Nature.com, 28 November 2016). Kemudian dalam konteks keindonesiaan, perdebatan dan pertentangan dalam wacana post-truth khususnya ilmu komunikasi menjadi penting. Pertama, riset di AS telah menunjukkan orang AS dalam kesehariannya pernah berbohong sehingga dalam teori komunikasi dikenal cognitive dissonance yang memunculkan white lie.



Kedua, aktivitas komunikasi secara realitas dalam politik melahirkan 'pembohongan publik' saat politisi berbohong tanpa kecaman, public relations dan komunikasi korporat melakukan spin doctor, komunikasi pemasaran melakukan deceptive advertising. Sementara itu, media mempertahankan truth vigilante yang populer dengan trial by press; termasuk di kajian budaya dan media yang populer dengan simulacrum dan hyperreal. Ketiga, media sosial yang digunakan di RI sebagai bentuk layanan 'over the top (OTT)' menjadikan segala jenis konten di internet dipertanyakan kredibilitas, objektivitas, integritas, kepercayaan, dan orisinalitasnya, termasuk kehadiran situs-situs dan akun avatar robot yang mem-buzz berita dan pesan bohong atau negatif.



Belum lagi meme yang dianggap mampu memanipulasi konten digital. Oleh karena itu, diperlukan wadah dan wacana untuk mendiskusikan secara akademis dan sainstifik keberadaan post-truth dalam ilmu komunikasi. Saat ini, masih banyak akademisi, ilmuwan, dan filsuf dikejutkan ide post-truth termasuk ketika temuan ilmiah diabaikan pemangku kepentingan dan kekuasaan termasuk profesional dan praktisi. Karena itu, kehadiran post-truth perlu dijadikan sebagai pengingat masyarakat tentang misi sosial ilmu pengetahuan.



Dengan demikian, akademisi, ilmuwan, dan filsuf dapat selalu menegaskan kebajikan dari intelektualitas berdasarkan model: berpikir kritis, rasa ingin tahu yang berkelanjutan, dan merevisi keyakinan berdasarkan pembuktian termasuk pentingnya kejujuran.

Sumber : http://www.mediaindonesia.com/news/r...asi/2017-07-06

Tidak ada komentar:

Posting Komentar