Minggu, 28 Januari 2024

Titik Buta Kuota

 

Titik Buta Kuota

Ilustrasi kuota (Foto: Freepik)

Dewasa ini kuota adalah bagian penting dalam kehidupan. Ia menawarkan kesenangan dan kenikmatan secara bersamaan. Dua hal yang sulit dihindari oleh manusia. Pasalnya, terdapat imediasi di sana. Secara sederhana imediasi dapat diungkapkan sebagai hasrat yang harus disegerakan. Ambil contoh mengakses media sosial, main gim, menonton video, berbelanja, dan mendengarkan musik.

Jika tidak segera, maka akan gamang. Dalam hal ini manusia menjadi sulit mengenali diri sendiri. Adapun gejala yang muncul berupa kecemasan. Dengan didasari pada gagal bereksistensi. Mula-mula kurang bisa mengendalikan suasana hati kemudian lupa mengambil sikap antisipasi.

Di sisi lain, ketika sering dilakukan aspek menuju kematian terabaikan. Atas nama kepuasan malah membuat manusia tidak memiliki kebijaksanaan, karena rentetan pilihan hidup yang diambil berkutat pada pengalaman estetis. Andaikan detik ini sudah dituntaskan. Dia otomatis beralih ke yang lain. Siklus itu terus berputar mengitari manusia.

A. Kehilangan Autentisitas

Manakala manusia cermat terhadap fenomena di atas. Mereka tidak akan larut dalam keseharian. Akibatnya, kehilangan autentisitas. Letak autentisitas manusia ialah berupaya memahami kondisi primordialnya. Alasan dari manusia bisa berada di dunia. Setelah itu menentukan rancangan hidupnya.

Lagi pula manusia tahu tentang waktu hening dan bergerak. Waktu hening merupakan momen refleksi diri, berserah diri, dan bersyukur. Sementara waktu bergerak ialah aktivitas bekerja, berbelanja, dan membaca.

B. Dangkal

Hidup di bawah naungan kuota dan melakukan kegiatan sia-sia bisa menyebabkan manusia dangkal. Dia alpa kehidupan sekarang tidak baik-baik saja. Aneka jerat sungguh dekat dan berusaha menjerat manusia.

Pertama, paham kebendaan. Fungsi uang untuk alat transaksi kini bertransformasi kesenangan diri. Semisal pinjol, judi online, dan konten memamerkan kekayaan. Bahkan berbekal pay later manusia membeli barang macam-macam. Tingkat persentase antara kebutuhan dan keinginan hanya pengguna yang tahu.

Kedua, post-truth. Kata pasca (post) merujuk pada keadaan sesudah kebenaran menjadi kenangan masa lalu. Post-truth ada didasari manusia yang menciptakan nilai moral sendiri sehingga posisi kebenaran terpinggirkan. Kebenaran dari suatu berita tidak dilihat dari substansi pesan yang termuat di dalamnya, tetapi cara pesan itu disampaikan secara dramatis sampai mampu menggerakkan emosi masyarakat.

Ketiga, hoaks. Anak kandung post-truth ialah hoaks. Jelasnya, keutamaan dari sebuah informasi tidak terletak pada kebenaran dan objektivitas. Namun, pemelintiran fakta dengan intensi membangkitkan emosi.

Kebenaran yang dilihat sebagai kesesuaian antara pikiran dan kenyataan bagi penyebar serta pencipta hoaks sama sekali tidak relevan. Bagi mereka kebenaran tidak lagi berhubungan dengan fakta, tetapi berkaitan erat dengan kepentingan tertentu. Tabik.


Referensi
Thomas Hidya Tjaya. Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri. Jakarta: KPG, 2004.
F. Budi Hardiman. Heidegger dan Mistik Keseharian. Jakarta: KPG, 2016.
Jurnal Filsafat Driyarkara Tahun XL No. 2.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar